SOME ARE DREAMERS. SOME ARE REALISTS. BUT WE ALL WELCOME CHANGE. SOME ARE LOVERS. SOME ARE FIGHTERS. WE ALL PUMP THE SAME RED BLOOD INTO OUR VEINS. THIS IS THE WORLD AS I KNOW IT. THE NEW IS IN. I'M FEELING BETTER ALREADY.

Terus Terang, Philips Terang Terus - Tagline Terhebat

Terbukti, great wording power bisa menghasilkan tagline yang kuat dan abadi. [read more]

Petani, Sempit di Lahan Luas

Apa kabar nasib para petani?, sudahkah mereka sejahtera?, apakah mereka merdeka? [read more]

Belajar Kaya Dari Si Miskin Yang Kaya

Singapura adalah tetangga kita paling dekat sekaligus tempat tujuan utama wisata masyarakat Indonesia. Entah kenapa Singapura mempunyai daya tarik tersendiri untuk didatangi. [read more]

Solusi Macet Jakarta?, Gampang, Salahkan Saja Sepeda Motor

2015 Jakarta Lumpuh!, begitu analisis para pengamat di bidang transportasi dan tata kota. [read more]

Peserta Ujian Hanya Satu Orang?, Lucunya Negara Ini.

Headline semua media dalam 7 hari belakangan ini tentulah terfokus pada isu, gonjang-ganjing, dan intrik pemilihan calon Kepala Kepolisian Republik Indonesia (KAPOLRI). [read more]

Petani, Sempit di Lahan Luas

Apa kabar nasib para petani?, sudahkah mereka sejahtera?, apakah mereka merdeka?. Jawaban yang diharapkan adalah tentu saja para petani Indonesia sudah merdeka dan tengah hidup sejahtera. Dengan logika sederhana, bangsa ini sudah merdeka selama 65 tahun, dan jika petani di negeri ini saat ini mencapai 55% jumlah rakyat Indonesia, artinya kemerdekaan bangsa juga kemerdekaan para petani.

Tapi harapan petani merdeka dan sejahtera masih jauh dari kenyataan. Bukti faktanya adalah tingkat pendidikan petani yang masih rendah, status ekonomi yang jauh dibawah rata-rata, dan tingkat kemandirian yang kurang. Karena pada dasarnya 3 hal tersebut adalah indikator pengukur kemerdekaan dan kesejahteraan petani. Ya, tingkat pendidikan, status ekonomi, dan kemandirian.

Menurut data dari Kementrian Pertanian tanggal 18 Agustus 2010. 75% tingkat pendidikan petani Indonesia tidak tamat dan tamat SD, 24% tamatan SMP dan SMA, dan parahnya hanya 1% yang bisa lulus perguruan tinggi. Data tersebut jelas menampar dengan telak program pemerintah tentang pembebasan biaya pendidikan, data tersebut juga dengan kerasnya menampar kebijakan pemerintah tentang alokasi 20 persen APBN untuk pendidikan. Ternyata, alokasi APBN 20 persen belum cukup untuk membebaskan para petani dari kebodohan dan keterbelakangan.
Karena sulitnya akses pendidikan, dan tidak meratanya infrastruktur dan fasilitias pendidikan, membuat banyak petani di daerah-daerah buta teknologi. Padahal sudah jelas, di era modern ini, melek teknologi sangat penting dalam segala bidang kehidupan.
Lalu secara ekonomi, nasib petani Indonesia di negerinya yang katanya gemah ripah loh jinawi ini sungguh sangat memprihatinkan. Terdapat sekitar 56% petani Indonesia hidup secara subsisten dengan rata-rata luas kepemilikan lahan hanya kurang dari 0,5 hektar, dengan pendapatan yang hanya Rp 16 juta/hektar/tahun. Perbandingan lahan petani dengan luas daratan negeri ini sangat jomplang. Belum lagi masalah penguasaan lahan oleh orang atau kelompok tertentu.

Dengan keadaan yang parah seperti itu, para petani makin tercekik dan terhimpit dengan harga komoditas. Strategi bodoh pemerintah yang menyerahkan mekanisme kepada pasar (kecuali beras tentunya) jelas menyulitkan petani, Harga bibit dan pupuk yang tidak menentu menjelaskan strategi liberal yang diterapkan pemerintah. Efeknya banyak petani terjerat rentenir, tidak berdaya menghadapi para tengkulak bajingan saat panen. Sudah begitu menderitanya petani masih harus mensubsidi perut-perut orang mampu melalui penyediaan pangan yang murah.

Soal kemandirian, petani masih tergantung secara absolut dalam : penyediaan bibit ayam ras (DOC) yang 100 persen dikuasai perusahaan multinasional, pupuk fosfor dan kalium hampir 100 persen diimpor. Belum lagi pestisida. Pertanyaannya, apa yang harus dilakukan agar petani merdeka dan menikmati hasil kemerdekaan yang dulu diperjuangkannya? Reformasi politik anggaran, perbankan, perindustrian, dan perdagangan merupakan solusi konkretnya.

Sangat diperlukan revolusi politik anggaran, perindustrian, perbankan, dan perdagangan mulai dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota. Alokasi 10 persen anggaran dari APBN dan APBD diperlukan untuk perluasan areal baru, infrastruktur pertanian, sistem pasca panen, pengolahan hasil dan mekanisasi. UU Perbankan pun harus di reformasi, supaya dana yang terhimpun dari masyarakat desa dapat digunakan untuk memacu sektor pertanian lokal dan UKM.

Tapi sayangnya hingga detik ini UU Perbankan dibuat hanya untuk memacu usaha konglomerasi. Tapi sayangnya alokasi APBN belum menyangkut urusan perluasan lahan baru, trendnya sekarang justru dimana ada lahan luas disitu ada bangunan beton perbelanjaan dengan dalih modernisasi.

Padahal dengan luas mencapai 1,904,569 km2, sektor pertanian bisa menjadi pondasi kesejahteraan penduduk daerah. Tidak perlu bermimpi petani bisa kaya raya, tapi paling tidak rakyat di daerah tidak terlalu pusing memikirkan komoditas pertanian sehari-hari jika pertanian di Indonesia di kelola dengan baik dengan dilindungi oleh UU yang berpihak kepada petani dan masyarakat lokal.

Saya membayangkan jika setiap desa di Indonesia diberi lahan oleh negara, tidak perlu luas, katakanlah 1 hektar/desa, dengan dukungan bibit-bibit unggul dan pupuk gratis dari pemerintah. Lalu tempatkanlah sarjana-sarjana pertanian di setiap desa untuk mengatur distribusi dan pembagian hasil setiap panen kepada penduduk setempat, sekaligus memberikan pengajaran taktis kepada pengolah lahan setempat. Saya yakin, negeri ini tidak akan ada lagi kelaparan.

Entahlah kapan nasib petani dan masyarakat daerah bisa sejahtera. Entah kapan para petani bisa merdeka dan mandiri.
Kapan semua petani membajak sawah pake traktor?, kapan semua petani rutin kontrol sawah naik Harley?, kapan semua petani menghitung laba panen pake komputer?, kapan semua petani bisa mengirim order beras pake helikopter?. Ya kapan-kapan lah, 200 tahun lagi mungkin.
Terakhir, mungkin di luar sana banyak yang berpikiran sama dengan saya yang bertanya, kok bisa ya nasib petani dan pertanian kita begitu buruknya?, padahal pemimpin kita katanya Doktor bidang Ekonomi Pertanian, malahan lulusan Institut Pertanian Bogor. Kok bisa?.

No Response to "Petani, Sempit di Lahan Luas"

Post a Comment


Developed and Modified by Kirana™ © 2010 the Content is Still Under Construction