SOME ARE DREAMERS. SOME ARE REALISTS. BUT WE ALL WELCOME CHANGE. SOME ARE LOVERS. SOME ARE FIGHTERS. WE ALL PUMP THE SAME RED BLOOD INTO OUR VEINS. THIS IS THE WORLD AS I KNOW IT. THE NEW IS IN. I'M FEELING BETTER ALREADY.

Terus Terang, Philips Terang Terus - Tagline Terhebat

Terbukti, great wording power bisa menghasilkan tagline yang kuat dan abadi. [read more]

Petani, Sempit di Lahan Luas

Apa kabar nasib para petani?, sudahkah mereka sejahtera?, apakah mereka merdeka? [read more]

Belajar Kaya Dari Si Miskin Yang Kaya

Singapura adalah tetangga kita paling dekat sekaligus tempat tujuan utama wisata masyarakat Indonesia. Entah kenapa Singapura mempunyai daya tarik tersendiri untuk didatangi. [read more]

Solusi Macet Jakarta?, Gampang, Salahkan Saja Sepeda Motor

2015 Jakarta Lumpuh!, begitu analisis para pengamat di bidang transportasi dan tata kota. [read more]

Peserta Ujian Hanya Satu Orang?, Lucunya Negara Ini.

Headline semua media dalam 7 hari belakangan ini tentulah terfokus pada isu, gonjang-ganjing, dan intrik pemilihan calon Kepala Kepolisian Republik Indonesia (KAPOLRI). [read more]

Solusi Macet Jakarta?, Gampang, Salahkan Saja Sepeda Motor

2015 Jakarta Lumpuh!, begitu analisis para pengamat di bidang transportasi dan tata kota. Kemacetan di Jakarta yang semakin parah menjadi pembicaraan hangat banyak media. Kemacetan yang menimbulkan ineffesiensi dan pemborosan BBM, yang membuat lalu lintas DKI begitu ruwet. Solusi dalam bentuk wacana dan tindakan nyata sudah dilakukan oleh Pemda DKI dan pemerintah. Dibuatlah Busway yang ternyata tidaka berpengaruh apapun. Dicanangkanlah program mono-rail yang ternyata pembangunannya tidak jelas. Sampai diwacanakan subway yang terasa seperti mimpi di siang bolong.

Ditengah buntunya dan rumitnya permasalahan kondisi lalu lintas DKI, tiba-tiba Pemda DKI mewacanakan pelarangan sepedamotor masuk jalan utama atau jalur-jalur protokol.
Apakah wacana itu salah?, jawabannya tergantung.

Wacana tersebut menjadi tidak ada salahnya asal Pemda DKI mampu memenuhi syarat utama solusi pelarangan ini.
Pemda DKI dan Kementrian Perhubungan harus bisa menyediakan tempat-tempat parkir aman dan nyaman bagi sepeda motor di wilayah-wilayah gerbang menuju jalan-jalan protokol DKI Jakarta. Jadi bagi mereka yang bekerja di kawasan protokol dapat tetap membawa motornya sampai kawasan yang dekat dengan kantornya. Tapi hal ini bisa menjadi masalah, karena beragamnya dan menyebarnya pusat perkantoran di DKI Jakarta, Pemda dan Pemerintah dijamin akan kerepotan melakukan hal ini.

Solusi lain yang bisa dilakukan adalah penerapan pajak progresif. Pemda DKI dapat bekerja sama secara serius dengan pemerintah untuk menerapkan pajak progresif bagi kendaraan dengan usia diatas 5 tahun. Dimana kendaran diatas usia 5 tahun akan semakin tinggi pajaknya dan akan terkena sanksi tilang berat jika dibawa ke jalur-jalur protokol. Tetapi masalahnya sanksi tilang berat ini bisa menimbulkan masalah sogok tilang yang sudah menjadi ciri khas aparat lalu lintas kita, jika begini tilang seberat apapun tidak akan mengurangi volume kendaraan di jalanan Jakarta. Nanti takutnya semakin banyak aparat lalu lintas yang "ngumpet" di belokan atau semak-semak untuk menunggu pengguna jalan yang melanggar.


Padahal sebenarnya Pemda DKI dan pemerintah bisa saja menanggulangi permasalahan klasik ibukota ini. Yang dibutuhkan hanyalah keseriusan, kerjasama antar pihak, konsistensi aparat terhadap peraturan, program-program yang kontinyu, dan kesadaran para pengguna jalan.
Tetapi Pemda DKI dan pemerintah sepertinya tidak mau pusing dan langsung menyalahkan sepeda motor.

Padahal pengendara sepeda motor adalah satu orang dan maksimal dua orang. Coba bandingan dengan pengguna mobil pribadi yang terkadang hanya satu supir dan satu penumpang bahkan terkadang satu mobil ya satu orang. Padahal sepeda motor adalah solusi di tengah bobroknya sistem transportasi publik DKI. Asalkan pajak progresif diterapkan, volume sepedamotor bisa di kontrol dengan baik. Tidak ada lagi itu yang namanya punya uang hanya Rp. 300 ribu bisa membeli motor baru. Pemerintah juga bisa menekan produsen sepeda motor untuk membatasi produksi dan peredaran sepeda motor khususnya di DKI Jakarta. Tetapi atas nama liberalisasi hal ini tentu tidak bisa dilakukan.


Mencabut jalur khusus busway yang mempersempit ruas jalan yang memang sudah sempit di DKI Jakarta.
Membangun sarana transportasi umum lainnya yang sudah menjadi wacana sejak lama seperti monorail dan subway. Penerapan denda maksimal kepada pelanggar. Denda Maksimal dikirim melalui POS ke alamat pemilik mobil dan harus dibayar oleh pemilik mobil & akan di denda bila seseorang tidak membayar sampai ybs melakukan perpanjangan STNK (pada saat habis masa berlakunya) dan terakhir denda maksimal adalah dengan mensita kendaraannya. Hal-hal tersebut bisa menjadi solusi tambahan.

Tetapi jika hanya menyalahkan sepeda motor sungguhlah wacana yang konyol dari Pemda DKI dan pemerintah.
Sekaligus mempertegas ketidakbecusan Pemda DKI untuk membereskan permasalahan kemacetan. Menggunakan jalan adalah hak warga negara, kewajiban pemerintah adalah menyediakan infrastruktur jalan yang aman dan nyaman dengan pajak yang dibayar oleh warga negara. Jika wacana pelarangan sepeda motor jadi dilaksanakan, marilah kita galakan gerakan menolak bayar memperpanjang STNK.

Publik masih ingat jelas dulu saat Pilkada DKI tahun 2007 dengan slogan "Jakarta macet?, serahkan pada ahlinya!". Pertanyaannya sekarang adalah siapa ahlinya?, si Komo?.


Ya sudahlah mungkin memang sudah nasib Jakarta disesaki kendaran berjubel dan polusi kronis. Sekarang kita bernyanyi saja
"macet lagi macet lagi bukan lagi karena si Komo, apa karena bang kumis, yang ngga becus ngurusin kota". ^_^

No Response to "Solusi Macet Jakarta?, Gampang, Salahkan Saja Sepeda Motor"

Post a Comment


Developed and Modified by Kirana™ © 2010 the Content is Still Under Construction