Maaf jika judul saya berlebihan. Tapi ada baiknya saya bisa
berpikiran dan berprilaku bijak menanggapi suatu peristiwa. Kita semua
pasti tahu ungkapan bijak dari para orang tua yang sudah turun menurun,
bahwa setiap peristiwa pasti memiliki hikmah. Sebagai manusia kita
harus bisa berlapang dada menerima dampak buruk dari suatu peristiwa,
disaat yang sama kita harus bijak mencerna makna dan hikmah yang entah
tersembunyi atau tampak jelas dari suatu peristiwa.
Kata
para pakar, ahli, dan praktisi, Indonesia adalah negara yang rawan
bencana karena negara ini tepat berdiri diatas tiga lempengan. Tulisan
ini tidak akan membahas soal teknis geologis dan geofisika. Tetapi
rentetan bencana yang dimulai dari banjir bandang di Wasior, Papua, yang
dilanjutkan dengan gempa dan tsunami yang terjadi di Mentawai, lalu
langsung dihantam dengan meletusnya Gunung Merapi di perbatasan
Jogjakarta-Jawa Tengah, jelas menampar dengan keras aspek kemanusiaan
setiap warga bangsa ini.
Semua pihak bersedih. Semua
pihak berempati, lintas kalangan dan golongan semuanya berdoa untuk
saudara-saudara kita yang tertimpa bencana. Tetapi di dalam segala
sedih, empati, dan keprihatinan yang melanda, tentu ada hikmah baik dari
rentetan bencana yang dikreasikan dengan cantik oleh Tuhan.
Penanganan Bencana
Pemerintah
dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mendapat kritik tajam
karena buruk dan lambatnya dalam menangani bencana gelombang tsunami
di Kepulauan Mentawai. Bahkan hingga empat hari setelah bencana
tsunami, banyak pengungsi mengeluh bahwa bantuan tidak terdistribusi
dengan baik, termasuk bantuan makanan yang amat sangat telat.
Berbagai
masalah dialami oleh para relawan berbagai macam. Mulai dari hambatan
cuaca buruk seperti gelombang tinggi dari hujan dan badai seperti
menjadi 'excuse' yang menyebabkan bantuan terlambat datang. Sebagai
manusia bijak publik tidak mungkin bisa menyalahkan cuaca. Tetapi
seringkali juga bantuan datang terlambat karena infrastruktur yang amat
sangat buruk untuk mobilisasi para relawan. Buruknya infrastruktur
apakah masih bisa diterima?. Saya pikir tidak, buruknya infrastruktur
jelas menjadi bukti bahwa ketimpangan masih terus terjadi.
Ketimpangan Terjadi Karena Undang-Undang
Jika
kita bicara ketidakadilan sungguh sudah berlangsung terlalu lama di
negeri ini. Para pendiri bangsa dengan begitu mulianya merumuskan
Undang-Undang Agraria dalam UUD 1945 namun diselewengkan oleh rezim orde
baru. Demi kepentingan ekonomi dan stabilitas politik, Soeharto (yang
akan diangkat menjadi pahlawan nasional) membagi-bagi aset alam kepada
korporasi dalam dan luar negeri, termasuk kroninya.
UU Agraria Nomor 5 Tahun 1960
itu bahkan tidak dikoreksi oleh pemerintahan (yang katanya) reformis
saat ini. Bahkan pemerintah saat ini cenderung melanjutkan dan
menguatkannya. Menurut data Kompas (30/10/10) Kepala Badan Pertanahan
Nasional mengklaim, 56% aset yang ada di Indonesia, berupa properti, tanah, ataupun perkebunan hanya dikuasai oleh 0.2 persen penduduk Indonesia. Pemerintah bahkan telah memberikan 42 juta hektar hutan kepada 301 perusahaan hak pengusahaan hutan dan 262 unit perusahaan hutan tanaman industri.
Jaringan
Advokasi Tambang (Jatam) menyebutkan bahwa 35 persen daratan Indonesia
diizinkan untuk dibongkar oleh industri pertambangan. Sawit Watch
menyatakan, hingga Juni 2010 pemerintah telah memberikan 9,4 juta hektar
tanah dan akan mencapai 26,7 juta hektar pada 2020 kepada 30 grup yang
mengontrol 600 perusahaan. Luas itu setara dengan tanah yang
dikuasai oleh 26,7 juta petani miskin jika setiap petani memiliki tanah 1
hektar. Padahal, masih banyak petani kita yang tak memiliki tanah atau
menguasai tanah di bawah 0,5 hektar.
Belum lagi masalah penguasaan aset alam. Sebanyak 85,4 persen dari 137 konsesi minyak dan gas kita dikuasai oleh asing.
Penguasaan asing di sektor pertambangan, perkebunan, dan perikanan
juga meningkat. Ironisnya, eksploitasi berlebihan terhadap alam
dilakukan demi memenuhi kebutuhan konsumsi negara lain. Menurut data
Kompas. Batu bara sebagai misal; 82,52 persen dari 246 juta ton
batu bara Indonesia diekspor. Bandingkan dengan China yang memproduksi
2.761 juta ton dan hanya mengekspor 1,7 persen. Sisanya, 98,3 persen,
digunakan untuk kepentingan domestik. (World Coal Institute, 2008).
Belum
lagi ketimpangan dan ketidakadilan lain yang terus berlangsung di
negeri ini. Saya tidak perlu menulisnya lagi, akan menghasilkan tulisan
yang sangat panjang dan tentu akan menjadikan tulisan ini keluar dari
fokusnya.
Infrastruktur Saja Pemerintah Tidak Mampu?
Saya
pernah membaca suatu tulisan atau tepatnya laporan bahwa kemajuan
suatu bangsa tercemin dari infrastruktur yang dipunyai. Entah itu
fasilitas publik yang prima, infrastruktur jalan yang baik, atau
infrastruktur pendidikan dan kesehatan yang baik. Yang membuat
Kekaisaran Roma menjadi menakutkan di masa lalu karena inisiatif mereka
membangun jalanan-jalanan yang baik di masanya, yang pada akhirnya
memudahkan ekspansi dan invasi mereka ke kerajaan-kerajaan lain.
Bagaimana dengan Indonesia?.
Tidak usah saya
mengambil contoh kasus yang jauh, contohnya di lingkungan tempat saya
tinggal. Banyak jalanan yang amat sangat parah. Baru dibetulkan jika ada
tekanan hebat dari masyarakat sekitar, misalkan jalanan yang rusak
parah, disaat hujan besar yang menyebabkan banjir, masyarakat inisiatif
menjadikan jalanan rusak itu sebagai tempat mancing, sebagai tindakan
demo kepada pemerintah daerah.
Penanganan bencana yang
telat tidak mungkin terjadi jika pembangunan infrastruktur di Indonesia
dilakukan secara merata dan adil. Tidak peduli seburuk apapun
cuaca yang sedang berlangsung, jika di semua tempat ada landasan
helikopter yang sesuai standar, jika disemua tempat akses jalanan
terkondisi dengan baik, otomatis tidak akan mengganggu mobilitas bantuan.
Begitu juga dengan masalah infrastruktur dan fasilitas penunjang
lainnya seperti ketersediaan rumah sakit yang layak disetiap pelosok Indonesia, ketersediaan pengungsian darurat yang layak. Begitu malunya pemerintah melihat kenyataan bantuan datang
terlambat karena mereka telat memikirkan betapa pentingnya infrastruktur
yang merata di seluruh wilayah kesatuan Indonesia.
Hikmah
dari bencana ini adalah rakyat semakin sadar bahwa ketidakadilan
agraria, ketimpangan ekonomi dan infrastruktur terus berlangsung di
negeri ini. Dan rakyat (harusnya) semakin sadar bahwa pemerintah tidak
jauh beda dengan pemerintah dzolim.
Hikmah Dari Politisi TOLOL
Ditengah
haru biru masyarakat atas tiga bencana yang datang beruntun, seketika
muncul komentar fenomenal namun terkesan tolol dari politisi di gedung
kura-kura. Sang politisi tersebut mengatakan bahwa tsunami di Mentawai
adalah konsekuensi warga yang hidup di pulau. Seperti yang dilansir
dari DetikCom.
"Siapa pun yang takut kena
ombak jangan tinggal di pinggir pantai. Sekarang kalau tinggal di
Mentawai ada peringatan dini dua jam sebelumnya, sempat nggak
meninggalkan pulau?" , ungkap politisi tolol itu.
Lalu
ditambah dengan ungkapan seorang politisi yang masih dari gedung
kura-kura yang menanggapi lambatnya penanganan bencana justru malah
murni menyalahkan lambatnya kinerja Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB).
Belum lagi ulah anggota yang lagi-lagi
dari gedung kura-kura yang berangkat diam-diam ke Italia dengan dalih
studi banding disaat bencana sedang melanda. Seolah para anggota
teranjing itu tidak pernah mengenal metode membaca literatur,
menganalisis alur sejarah, atau mengundang pakar dan ahli untuk melakuka
studi atas suatu kasus. Rakyat pasti bingung, kalo tolol kok bisa jadi
wakil rakyat?.
Rakyat harus berterima kasih
kepada Tuhan. Bahwa bencana beruntun ini memberikan hikmah dan kesadaran
bahwa para politisi dan para wakil rakyat di Indonesia masih busuk. Mungkin
kita sepakat bahwa tidak semua pejabat dan wakil rakyat memiliki
mental korup, tetapi kita semua pasti sepakat bahwa mereka semua pada
dasarnya ignorance.
Hikmah Rasa Persaudaraan Meningkat
Begitu hebatnya orang Indonesia. Ya itulah yang saya rasakan. Begitu
hebatnya masyarakat korban tsunami Mentawai yang berinisiatif sendiri
untuk melakukan evakuasi dan pencarian korban yang mereka lakukan
dengan fasilitas seadanya. Begitu hebatnya mereka bertahan di
pengungsian yang seadaanya, dengan pelayanan kesehatan yang seadanya
pula, dan persediaan makanan, minuman, pakaian, dan air bersih yang
seadanya. Mereka seolah tidak pernah peduli begitu lambatnya bantuan
dari pemerintah yang mereka pilih sepenuh hati pada Pemilu 2009 lalu.
Begitu hebatnya masyarakat Indonesia, tanpa komando dan tanpa pamer-pamer citra bergerak cepat menggalang dana bantuan. Mobilisasi empati terjadi lintas batas, lintas jarak, dan lintas kalangan. Masyarakat
bergerak cepat tanpa suara untuk membantu korban Wasior, Mentawai, dan
Merapi. Mereka menggalang dana dan bantuan lain tanpa pidato-pidato,
tanpa pretensi politik. Benar-benar murni dari rakyat untuk rakyat.
Walaupun masyarakat Indonesia cenderung reaksioner dan emosional. Mudah
ingat, mudah lupa, mudah berempati lalu reda sendiri. Tetapi paling
tidak rentetan bencana ini semakin memperat rasa persaudaraan sesama.
Dan semoga bencana-bencana yang terjadi semakin menyadarkan masyarakat
bahwa pemerintah yang dipilih pada Pemilu lalu telah gagal dari segala
aspek untuk mensejahterakan rakyatnya. Bagaiman mau mensejahterakan, lah
untuk membantu saja lambatnya bukan main.
Semua elemen
pemerintah harus betul-betul belajar dari penanganan bencana yang
dilakukan oleh Jepang. Fakta bahwa Jepang telah berhasil membentuk UU
Penanganan Bencana yang kuat telah terbukti. Tindakan konkrit yang
dilakukan adalah penerapan setiap bangunan wajib dibuat dengan
konstruksi tahan gempa. Pemerintah Jepang terus menguapayakan dengan
cepat untuk menambah kekuatan konstruksi rumah dan fasilitas sosial.
Takeshihi Muronaga, Sekertaris II Kedubes Jepang untuk Indonesia, pada tahun 2006 pernah mengatakan
"kita tidak dapat mencegah terjadinya badai dan gempa bumi. Kewajiban
kita adalah berusaha untuk menekan dan terus menekan jumlah korban terus
berkurang dari satu bencana ke bencana berikutnya".
Drama
haru yang dilakukan pemimpin negeri ini seolah tidak ada gunanya.
Statement agar di negeri ini rakyat menjadi tuan tanah, tuan yang
memiliki bumi dan air yang terkandung di dalamnya (Kompas, 21/10/10)
seolah menjadi omong kosong. Presiden tidak perlu ragu mengubah secara
mendasar arah pengelolaan sumber-sumber agraria untuk kepentingan rakyat
banyak dan kepentingan antargenerasi. Saatnya Presiden menyatakan
perang atas ketidakadilan agraria dan ketimpangan infrastruktur yang
menghambat penanganan bencana secara sungguh-sungguh dan bukan hanya
untuk kepentingan pencitraan semata.
Jangan
pernah berpikir bahwa dengan mengharu biru dengan menangis didepan
kamera akan dianggap peduli, punya naluri sensitif terhadap penderitaan,
dan dianggap berani. Haru biru itu justru semakin memperlihatkan kegelisahannya atas ketidakmampuannya menangani negeri ini semakin jelas terlihat.
Semoga
rakyat di negeri diberi kesabaran ekstra atas ujian bencana dari
Tuhan. Semoga rakyat semakin sadar lalu bergerak untuk menghantam
rezim-rezim pelayan orang asing di negeri ini. Karena sesungguhnya,
betapapun cobaan yang menghantam kita, selama cobaan itu tidak membuat
kita sebagai bangsa musnah, kita akan semakin kuat.
Angin barat berhembus dianggap hawa surga. Gunung api meletus, air mata dan sujud langsung dikultus.