SOME ARE DREAMERS. SOME ARE REALISTS. BUT WE ALL WELCOME CHANGE. SOME ARE LOVERS. SOME ARE FIGHTERS. WE ALL PUMP THE SAME RED BLOOD INTO OUR VEINS. THIS IS THE WORLD AS I KNOW IT. THE NEW IS IN. I'M FEELING BETTER ALREADY.

Terus Terang, Philips Terang Terus - Tagline Terhebat

Terbukti, great wording power bisa menghasilkan tagline yang kuat dan abadi. [read more]

Petani, Sempit di Lahan Luas

Apa kabar nasib para petani?, sudahkah mereka sejahtera?, apakah mereka merdeka? [read more]

Belajar Kaya Dari Si Miskin Yang Kaya

Singapura adalah tetangga kita paling dekat sekaligus tempat tujuan utama wisata masyarakat Indonesia. Entah kenapa Singapura mempunyai daya tarik tersendiri untuk didatangi. [read more]

Solusi Macet Jakarta?, Gampang, Salahkan Saja Sepeda Motor

2015 Jakarta Lumpuh!, begitu analisis para pengamat di bidang transportasi dan tata kota. [read more]

Peserta Ujian Hanya Satu Orang?, Lucunya Negara Ini.

Headline semua media dalam 7 hari belakangan ini tentulah terfokus pada isu, gonjang-ganjing, dan intrik pemilihan calon Kepala Kepolisian Republik Indonesia (KAPOLRI). [read more]

Terima Kasih Atas Bencananya Tuhan!

 Maaf jika judul saya berlebihan. Tapi ada baiknya saya bisa berpikiran dan berprilaku bijak menanggapi suatu peristiwa. Kita semua pasti tahu ungkapan bijak dari para orang tua yang sudah turun menurun, bahwa setiap peristiwa pasti memiliki hikmah. Sebagai manusia kita harus bisa berlapang dada menerima dampak buruk dari suatu peristiwa, disaat yang sama kita harus bijak mencerna makna dan hikmah yang entah tersembunyi atau tampak jelas dari suatu peristiwa.

Kata para pakar, ahli, dan praktisi, Indonesia adalah negara yang rawan bencana karena negara ini tepat berdiri diatas tiga lempengan. Tulisan ini tidak akan membahas soal teknis geologis dan geofisika. Tetapi rentetan bencana yang dimulai dari banjir bandang di Wasior, Papua, yang dilanjutkan dengan gempa dan tsunami yang terjadi di Mentawai, lalu langsung dihantam dengan meletusnya Gunung Merapi di perbatasan Jogjakarta-Jawa Tengah, jelas menampar dengan keras aspek kemanusiaan setiap warga bangsa ini.

Semua pihak bersedih. Semua pihak berempati, lintas kalangan dan golongan semuanya berdoa untuk saudara-saudara kita yang tertimpa bencana. Tetapi di dalam segala sedih, empati, dan keprihatinan yang melanda, tentu ada hikmah baik dari rentetan bencana yang dikreasikan dengan cantik oleh Tuhan.

Penanganan Bencana

Pemerintah dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mendapat kritik tajam karena buruk dan lambatnya dalam menangani bencana gelombang tsunami di Kepulauan Mentawai. Bahkan hingga empat hari setelah bencana tsunami, banyak pengungsi mengeluh bahwa bantuan tidak terdistribusi dengan baik, termasuk bantuan makanan yang amat sangat telat.

Berbagai masalah dialami oleh para relawan berbagai macam. Mulai dari hambatan cuaca buruk seperti gelombang tinggi dari hujan dan badai seperti menjadi 'excuse' yang menyebabkan bantuan terlambat datang. Sebagai manusia bijak publik tidak mungkin bisa menyalahkan cuaca. Tetapi seringkali juga bantuan datang terlambat karena infrastruktur yang amat sangat buruk untuk mobilisasi para relawan. Buruknya infrastruktur apakah masih bisa diterima?. Saya pikir tidak, buruknya infrastruktur jelas menjadi bukti bahwa ketimpangan masih terus terjadi.

Ketimpangan Terjadi Karena Undang-Undang

Jika kita bicara ketidakadilan sungguh sudah berlangsung terlalu lama di negeri ini. Para pendiri bangsa dengan begitu mulianya merumuskan Undang-Undang Agraria dalam UUD 1945 namun diselewengkan oleh rezim orde baru. Demi kepentingan ekonomi dan stabilitas politik, Soeharto (yang akan diangkat menjadi pahlawan nasional) membagi-bagi aset alam kepada korporasi dalam dan luar negeri, termasuk kroninya.

UU Agraria Nomor 5 Tahun 1960 itu bahkan tidak dikoreksi oleh pemerintahan (yang katanya) reformis saat ini. Bahkan pemerintah saat ini cenderung melanjutkan dan menguatkannya. Menurut data Kompas (30/10/10) Kepala Badan Pertanahan Nasional mengklaim, 56% aset yang ada di Indonesia, berupa properti, tanah, ataupun perkebunan hanya dikuasai oleh 0.2 persen penduduk Indonesia. Pemerintah bahkan telah memberikan 42 juta hektar hutan kepada 301 perusahaan hak pengusahaan hutan dan 262 unit perusahaan hutan tanaman industri.

Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyebutkan bahwa 35 persen daratan Indonesia diizinkan untuk dibongkar oleh industri pertambangan. Sawit Watch menyatakan, hingga Juni 2010 pemerintah telah memberikan 9,4 juta hektar tanah dan akan mencapai 26,7 juta hektar pada 2020 kepada 30 grup yang mengontrol 600 perusahaan. Luas itu setara dengan tanah yang dikuasai oleh 26,7 juta petani miskin jika setiap petani memiliki tanah 1 hektar. Padahal, masih banyak petani kita yang tak memiliki tanah atau menguasai tanah di bawah 0,5 hektar.

Belum lagi masalah penguasaan aset alam. Sebanyak 85,4 persen dari 137 konsesi minyak dan gas kita dikuasai oleh asing. Penguasaan asing di sektor pertambangan, perkebunan, dan perikanan juga meningkat. Ironisnya, eksploitasi berlebihan terhadap alam dilakukan demi memenuhi kebutuhan konsumsi negara lain. Menurut data Kompas. Batu bara sebagai misal; 82,52 persen dari 246 juta ton batu bara Indonesia diekspor. Bandingkan dengan China yang memproduksi 2.761 juta ton dan hanya mengekspor 1,7 persen. Sisanya, 98,3 persen, digunakan untuk kepentingan domestik. (World Coal Institute, 2008).

Belum lagi ketimpangan dan ketidakadilan lain yang terus berlangsung di negeri ini. Saya tidak perlu menulisnya lagi, akan menghasilkan tulisan yang sangat panjang dan tentu akan menjadikan tulisan ini keluar dari fokusnya.

Infrastruktur Saja Pemerintah Tidak Mampu?

Saya pernah membaca suatu tulisan atau tepatnya laporan bahwa kemajuan suatu bangsa tercemin dari infrastruktur yang dipunyai. Entah itu fasilitas publik yang prima, infrastruktur jalan yang baik, atau infrastruktur pendidikan dan kesehatan yang baik. Yang membuat Kekaisaran Roma menjadi menakutkan di masa lalu karena inisiatif mereka membangun jalanan-jalanan yang baik di masanya, yang pada akhirnya memudahkan ekspansi dan invasi mereka ke kerajaan-kerajaan lain. Bagaimana dengan Indonesia?.

Tidak usah saya mengambil contoh kasus yang jauh, contohnya di lingkungan tempat saya tinggal. Banyak jalanan yang amat sangat parah. Baru dibetulkan jika ada tekanan hebat dari masyarakat sekitar, misalkan jalanan yang rusak parah, disaat hujan besar yang menyebabkan banjir, masyarakat inisiatif menjadikan jalanan rusak itu sebagai tempat mancing, sebagai tindakan demo kepada pemerintah daerah.

Penanganan bencana yang telat tidak mungkin terjadi jika pembangunan infrastruktur di Indonesia dilakukan secara merata dan adil. Tidak peduli seburuk apapun cuaca yang sedang berlangsung, jika di semua tempat ada landasan helikopter yang sesuai standar, jika disemua tempat akses jalanan terkondisi dengan baik, otomatis tidak akan mengganggu mobilitas bantuan. Begitu juga dengan masalah infrastruktur dan fasilitas penunjang lainnya seperti ketersediaan rumah sakit yang layak disetiap pelosok Indonesia, ketersediaan pengungsian darurat yang layak. Begitu malunya pemerintah melihat kenyataan bantuan datang terlambat karena mereka telat memikirkan betapa pentingnya infrastruktur yang merata di seluruh wilayah kesatuan Indonesia.

Hikmah dari bencana ini adalah rakyat semakin sadar bahwa ketidakadilan agraria, ketimpangan ekonomi dan infrastruktur terus berlangsung di negeri ini. Dan rakyat (harusnya) semakin sadar bahwa pemerintah tidak jauh beda dengan pemerintah dzolim.

Hikmah Dari Politisi TOLOL

Ditengah haru biru masyarakat atas tiga bencana yang datang beruntun, seketika muncul komentar fenomenal namun terkesan tolol dari politisi di gedung kura-kura. Sang politisi tersebut mengatakan bahwa tsunami di Mentawai adalah konsekuensi warga yang hidup di pulau. Seperti yang dilansir dari DetikCom.

"Siapa pun yang takut kena ombak jangan tinggal di pinggir pantai. Sekarang kalau tinggal di Mentawai ada peringatan dini dua jam sebelumnya, sempat nggak meninggalkan pulau?" , ungkap politisi tolol itu.

Lalu ditambah dengan ungkapan seorang politisi yang masih dari gedung kura-kura yang menanggapi lambatnya penanganan bencana justru malah murni menyalahkan lambatnya kinerja Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Belum lagi ulah anggota yang lagi-lagi dari gedung kura-kura yang berangkat diam-diam ke Italia dengan dalih studi banding disaat bencana sedang melanda. Seolah para anggota teranjing itu tidak pernah mengenal metode membaca literatur, menganalisis alur sejarah, atau mengundang pakar dan ahli untuk melakuka studi atas suatu kasus. Rakyat pasti bingung, kalo tolol kok bisa jadi wakil rakyat?.

Rakyat harus berterima kasih kepada Tuhan. Bahwa bencana beruntun ini memberikan hikmah dan kesadaran bahwa para politisi dan para wakil rakyat di Indonesia masih busuk. Mungkin kita sepakat bahwa tidak semua pejabat dan wakil rakyat memiliki mental korup, tetapi kita semua pasti sepakat bahwa mereka semua pada dasarnya ignorance.

Hikmah Rasa Persaudaraan Meningkat

Begitu hebatnya orang Indonesia. Ya itulah yang saya rasakan. Begitu hebatnya masyarakat korban tsunami Mentawai yang berinisiatif sendiri untuk melakukan evakuasi dan pencarian korban yang mereka lakukan dengan fasilitas seadanya. Begitu hebatnya mereka bertahan di pengungsian yang seadaanya, dengan pelayanan kesehatan yang seadanya pula, dan persediaan makanan, minuman, pakaian, dan air bersih yang seadanya. Mereka seolah tidak pernah peduli begitu lambatnya bantuan dari pemerintah yang mereka pilih sepenuh hati pada Pemilu 2009 lalu.

Begitu hebatnya masyarakat Indonesia, tanpa komando dan tanpa pamer-pamer citra bergerak cepat menggalang dana bantuan. Mobilisasi empati terjadi lintas batas, lintas jarak, dan lintas kalangan. Masyarakat bergerak cepat tanpa suara untuk membantu korban Wasior, Mentawai, dan Merapi. Mereka menggalang dana dan bantuan lain tanpa pidato-pidato, tanpa pretensi politik. Benar-benar murni dari rakyat untuk rakyat. Walaupun masyarakat Indonesia cenderung reaksioner dan emosional. Mudah ingat, mudah lupa, mudah berempati lalu reda sendiri. Tetapi paling tidak rentetan bencana ini semakin memperat rasa persaudaraan sesama. Dan semoga bencana-bencana yang terjadi semakin menyadarkan masyarakat bahwa pemerintah yang dipilih pada Pemilu lalu telah gagal dari segala aspek untuk mensejahterakan rakyatnya. Bagaiman mau mensejahterakan, lah untuk membantu saja lambatnya bukan main.

Semua elemen pemerintah harus betul-betul belajar dari penanganan bencana yang dilakukan oleh Jepang. Fakta bahwa Jepang telah berhasil membentuk UU Penanganan Bencana yang kuat telah terbukti. Tindakan konkrit yang dilakukan adalah penerapan setiap bangunan wajib dibuat dengan konstruksi tahan gempa. Pemerintah Jepang terus menguapayakan dengan cepat untuk menambah kekuatan konstruksi rumah dan fasilitas sosial.

Takeshihi Muronaga, Sekertaris II Kedubes Jepang untuk Indonesia, pada tahun 2006 pernah mengatakan "kita tidak dapat mencegah terjadinya badai dan gempa bumi. Kewajiban kita adalah berusaha untuk menekan dan terus menekan jumlah korban terus berkurang dari satu bencana ke bencana berikutnya".

Drama haru yang dilakukan pemimpin negeri ini seolah tidak ada gunanya. Statement agar di negeri ini rakyat menjadi tuan tanah, tuan yang memiliki bumi dan air yang terkandung di dalamnya (Kompas, 21/10/10) seolah menjadi omong kosong. Presiden tidak perlu ragu mengubah secara mendasar arah pengelolaan sumber-sumber agraria untuk kepentingan rakyat banyak dan kepentingan antargenerasi. Saatnya Presiden menyatakan perang atas ketidakadilan agraria dan ketimpangan infrastruktur yang menghambat penanganan bencana secara sungguh-sungguh dan bukan hanya untuk kepentingan pencitraan semata.

Jangan pernah berpikir bahwa dengan mengharu biru dengan menangis didepan kamera akan dianggap peduli, punya naluri sensitif terhadap penderitaan, dan dianggap berani. Haru biru itu justru semakin memperlihatkan kegelisahannya atas ketidakmampuannya menangani negeri ini semakin jelas terlihat.

Semoga rakyat di negeri diberi kesabaran ekstra atas ujian bencana dari Tuhan. Semoga rakyat semakin sadar lalu bergerak untuk menghantam rezim-rezim pelayan orang asing di negeri ini. Karena sesungguhnya, betapapun cobaan yang menghantam kita, selama cobaan itu tidak membuat kita sebagai bangsa musnah, kita akan semakin kuat.

Angin barat berhembus dianggap hawa surga. Gunung api meletus, air mata dan sujud langsung dikultus.


Developed and Modified by Kirana™ © 2010 the Content is Still Under Construction